Sisingamangaraja
adalah sosok yang tidak asing lagi di daftar Nama-Nama Pahlawan
Nasional Indonesia, khususnya Sisingamangaraja XII. Tanah Batak terkenal
dengan Danau Toba. Keindahan Danau Toba dari jaman dahulu sampai
sekarang telah terkenal ke penjuru dunia. Tanah Batak tidak bisa
dipisahkan dari Danau Toba. Raja Batak berasal dari Danau Toba, lahir
dan besar disana, perkembangan si Raja Batak melahirkan
sebuah kerajaan yang diberi nama Kerajaan Sisingamangaraja (Harajaon Sisingamangaraja). Kerajaan Sisingamangaraja ini mulai terbentuk abag – 16. Kerajaan ini muncul sebagai usaha menciptakan sebuah lembaga pemersatu antar keempat distrik Toba, khususnya mempererat kerjasama antar bius “punguan marga”, sekaligus menata hubungan dengan dunia luar dan dunia tetangga demi menjamin lalulintas perdagangan (hombar balok). Intinya Kerajaan Sisingamangaraja sama seperti kerajaan-kerajaan lain di tanah air di abab 15 – 16, seperti Kerajaan Majapahit, Pagaruyung, dll.
sebuah kerajaan yang diberi nama Kerajaan Sisingamangaraja (Harajaon Sisingamangaraja). Kerajaan Sisingamangaraja ini mulai terbentuk abag – 16. Kerajaan ini muncul sebagai usaha menciptakan sebuah lembaga pemersatu antar keempat distrik Toba, khususnya mempererat kerjasama antar bius “punguan marga”, sekaligus menata hubungan dengan dunia luar dan dunia tetangga demi menjamin lalulintas perdagangan (hombar balok). Intinya Kerajaan Sisingamangaraja sama seperti kerajaan-kerajaan lain di tanah air di abab 15 – 16, seperti Kerajaan Majapahit, Pagaruyung, dll.
Lahirnya Sisingamangaraja I
Lahirnya
seorang putra Lembah Bakkara, yang kemudian menjadi Sisingamangaraja I,
tertuang dalam banyak mitos, oleh karena itu penulis membatasi topik ini
pada satu versi mitos yang diceritakan oleh Almarhum Nenek saya dan sama
persis dengan bentuk ringkasan berdasarkan teks tradisi lisan yang
terdapat pada akhir abad ke – 19 dan permulaan abad – 20, yang
dikisahkan seperti ini :
Tersebutlah seorang yang bernama Bona Ni Onan, bungsu dari tiga putra bermarga Sinambela.
Anak bungsu ini ketika dewasa sering pergi berjalan jauh, mengembara
untuk waktu yang agak lama. Suatu waktu, ketika pulang dari perjalanan
jauhnya yang membutuhkan waktu beberapa tahun lamanya, ia menjumpai
isterinya yang sekian tahun tidak dia gauli, dia terkejut karena
isterinya telah hamil. Bona Ni Onan terkejut, karena bagaimana mungkin
isterinya yang sudah sekian tahun dia tinggalkan dan tidak berhubungan
intim bisa hamil. Masalah kesetiaan istri timbul pula di kalangan
masyarakat umum Bakkara waktu itu. Dalam situasi yang penuh keraguan,
pada suatu malam Bona Ni Onan bermimpi didatangi Roh. Roh itu
menjelaskan bahwa bayi dalam kandungan isterinya adalah titisan roh
Batara Guru dan kelak menjadi raja yang bergelar Sisingamangaraja.
Setelah mimpi itu, Bona Ni Onan bertanya kepada sang isteri tentang
pengalamannya ketika ditinggal sendirian dengan puteri mereka
satu-satunya.
Sang isteri bercerita bahwa suatu kali ketika dirinya sedang mandi berlangir di mata air hutan keramat, Tombak Sulu-sulu
(Hutan Obor), mendadak terdengar suara gemuruh dan tampak cahaya
merasuki tubuhnya. Tidak lama kemudian sang isteri mengetahui bahwa
dirinya telah hamil. Ia yakin bahwa kehamilannya adalah buah pertemuan/
kerasukan Roh Bona Ni Onan. Masyarakat menerima kebenaran makna
peristiwa itu. Setelah kehamilan yang lama, jauh lebih lama dari biasa
(19 bulan), isterinya melahirkan seorang putra. Anak itu diberi nama
Manghuntal. Kelahiran Manghuntal diiringi gempa bumi dan gemuruh serta
tanda-tanda alam dasyat lainnya. Kata Manghuntal berarti gemuruh gempa.
Gambar Makam Raja Sisigamangaraja
Di
masa remaja dikisahkan bahwa Manghuntal menunjukkan sifat-sifat ajaib
yang memperkuat ramalan bahwa dirinya akan menjadi Raja. Setelah dewasa
ia melakukan perjalanan untuk memperoleh pengakuan akan kesaktian yang
dimilikinya untuk menjadi Raja. Manghuntal pergi menyeberangi samudera
(lewat Barus) ke suatu pulau tempat Raja Mahasakti bernama Raja Uti.
Tujuannya ke tempat Raja Uti ialah meminta seekor Gajah Putih.
Sesudah sampai ke tempat Raja Uti, ia tidak dapat langsung bertemu
karena raja sedang bepergian. Demikianlah kata isteri Raja Uti. Kemudian
Manghuntal disuguhi oleh isteri raja makanan dengan sayur daun umbi
rambat, sesuai permintaan Manghuntal. Pada saat Manghuntal mengangkat
sayur daun umbi rambat ke mulutnya dengan pandangan terarah ke beranda
atas rumah, ia melihat Raja Uti. Ternyata moncong Raja Uti seperti
moncong babi. Raja Uti lalu turun dan bertukar sapa dengan Manghuntal.
Manghuntal menyampaikan permohonannya, yaitu meminta seekor gajah putih.
Raja Uti bersedia memberi gajah putih yang diminta, dengan syarat
Manghuntal harus mengumpulkan dan membawa sejumlah pertanda dari
berbagai wilayah Danau Toba sebagai bukti kelayakannya menjadi Raja.
Manghuntal
kemudian pulang ke Toba dan kembali ke Barus membawa pertanda-pertanda
yang diminta. Setelah semua pertanda diserahkan kepada Raja Uti,
Manghuntal menerima gajah putih dan sejumlah barang pusaka, di antaranya
sebilah keris keramat sebagai pengakuan atas kesaktiannya menjadi Raja.
Manghuntal pulang ke Bakkara lalu dinobatkan menjadi Sisingamangaraja
sesuai dengan yang dikatakan oleh Roh kepada Bona Ni Onan ketika
Manghuntal masih dalam kandungan. Sewaktu upacara penobatan di Bakkara,
Manghuntal (Sisingamangaraja I) harus menempuh ujian terpenting, yaitu
mencabut keris yang bernama Piso Gaja Dompak
(Pisau Gajah Penangkal). Piso Gaja DOmpak itu tidak akan bisa dicabut
dari sarungnya oleh seseorang yang tidak memiliki kesaktian, kecuali
oleh orang yang memiliki kesaktian dan orang yang menjadi titisan Batara
Guru (orang yang memang sudah ditakdirkan menjadi Raja). Manghuntal
berhasil mencabutnya. Ia lalu dinobatkan menjadi Sisingamangaraja I,
inkarnasi Batara Guru dan menanggalkan nama pribadi karena Batara Guru
berkenan bersemayam dalam dirinya berbentuk Sahala.
Sahala Sisingamangaraja
Seperti
itulah Cerita atau Mitos, tetapi yang dipercayai oleh Suku Batak dan
Bangsa Indonesia perihal lahirnya Kerajaan Sisingamangaraja I. Raja
Sisingamangaraja I sampai dengan yang ke – IX lebih banyak bekerja untuk
mempersatukan Tanah Batak atau untuk memperluas Kerajaan
Sisingamangaraja. Masa mereka berkuasa, Penjajah dari negeri asing belum
sampai ke Pulau Sumatera. Sehingga Sisingamangaraja I sampai dengan IX
menurut Cerita jika wafat tidak tahu persis makamnya, karena setelah
Raja Sisingamangaraja I sampai dengan IX telah diangkat menjadi Raja,
pekerjaan mereka adalah pergi mengelilingi Tanah Batak bersama
pasukannya tanpa membawa Piso Gaja Dompak
(Pisau Gajah Penangkal), maupun anak isterinya. Para Raja berpikir, jika
sudah punya keturunan, maka mereka wajib mengembangkan kekuasaannya.
Raja Sisingamangaraja periode I sampai IX dipastikan wafat, melalui
tanda-tanda alam zaman itu, dimana jika ada cabang utama dari pohon Hariara Namarmutiha (Hariara
Tanda) patah, berarti Sisingamangaraja telah wafat, jika yang patah
adalah cabang pohon Hariara Namarmutiha, berarti ada anggota keluarga
dari Raja Sisingamangaraja wafat.
Kembali ke Sahala,
sahala dalam bangsa batak berarti daya kesaktian yang diperoleh lewat
wahyu. Jika zaman dahulu Sahala adalah kesaktian yang diperoleh lewat
transformasi Roh untuk menjadi Raja, sekarang Sahala adalah kesaktian
yang diturunkan oleh Roh untuk mengobati, menjadi petunjuk atas suatu
perbuatan jahat, penangkal atas kejahatan di dunia ini. Sahala yang
melekat pada Sisingamangaraja adalah sahala yang sempurna dan sangat
berbeda pengertiannya dari sahala biasa. Hal itu dibuktikan dalam
pengangkatan Raja Sisingamangaraja selanjutnya, jika Raja telah wafat.
Menurut Cerita Silsilah Sisingamangaraja selanjutnya dikatakan bahwa
setelah Cabang Utama Pohon Hariara Namarmutiha telah patah, diikuti
dengan munculnya musim kemarau di Bakkara yang berkepanjangan, sehingga
masyarakat mengharapkan turunnya Hujan melalui ritual upacara Doa-Doa
dari Raja Sisingamangaraja.
Untuk
melakukan Upacara Doa ini, maka bius-bius marga yang ada di Bakkara
yang disebut dengan Si Onom Ompu (Bakkara, Sinambela, Sihite,
Simanullang, Marbun dan Simamora) mempersiapkan sebuah Gondang Besar,
dan meminta Putera (anak) dari Raja Sisingamangaraja yang telah wafat
untuk bersedia mereka gondangi. Dengan memakai ulos batak dan mengangkat
Pinggan Pasu berisi beras Sakti beralaskan ulos Sande Huliman, Putera
Raja inipun mulai Berdoa kepada Mula Jadi Na Bolon (Sang Pencipta Alam Semesta) sambil meminta Gondang dan Martonggo
(Berdoa) untuk meminta diturunkan hujan. Saat Margondang dan Martonggo
itulah, jika langit mendung dan turun hujan deras, maka masyarakat Si
Onom Ompu akan berkata HORAS, HORAS, HORAS dan menyerahkan Piso Gaja
Dompak kepada Putera Raja, sambil manortor, jika Putera Raja mampu
mencabut keris tersebut dari sarungnya dan diangkat tinggi-tinggi, maka
dialah Raja Sisingamangaraja selanjutnya, menggantikan ayahnya yang
telah wafat. Jadi, dalam Kerajaan Sisingamangaraja yang ada di Bakkara,
putera raja belum tentu yang paling tua (sulung, anak pertama), tetapi
adalah Putera Raja yang mampu melaksanakan Upacara Berdoa menurunkan
Hujan dan Mencabut Keris Piso Gaja Dompak.
Demikianlah selanjutnya sampai Raja Sisingamangaraja XII
Singamangaraja II, Ompu Raja Tinaruan
Singamangaraja III, Raja Itubungna.
Singamangaraja IV, Tuan Sorimangaraja.
Singamangaraja V, Raja Pallongos.
Singamangaraja VI, Raja Pangolbuk,
Singamangaraja VII, Ompu Tuan Lumbut,
Singamangaraja VIII, Ompu Sotaronggal
Singamangaraja IX, Ompu Sohalompoan,
Singamangaraja X, Ompu Tuan Na Bolon,
Singamangaraja III, Raja Itubungna.
Singamangaraja IV, Tuan Sorimangaraja.
Singamangaraja V, Raja Pallongos.
Singamangaraja VI, Raja Pangolbuk,
Singamangaraja VII, Ompu Tuan Lumbut,
Singamangaraja VIII, Ompu Sotaronggal
Singamangaraja IX, Ompu Sohalompoan,
Singamangaraja X, Ompu Tuan Na Bolon,
Inilah
Bagian pertama dari Kisah Kepahlawanan Sisingamangaraja mudah-mudahan
dapat menjadi aspirasi dan inspirasi bagi kita dalam menciptakan
generasi bangsa Indonesia yang mampu mencintai Negara kita ini. Semoga
tulisan ini makin memperkaya sudut pandang kita terhadap perjuangan para
pahlawan bangsa ini, walaupun dalam kenyataannya bahwa Sisingamangaraja
berjuang hanya untuk Daerah Batak, namun sumbangsihnya dalam menggalang
masyarakat Batak, Aceh dan Sumatera Selatan di jamannya perlu di
apresiasi, kemampuan beliau untuk bergerilya, mengorbankan anak dan
isterinya untuk membebaskan Tanah Batak dari penjajahan harus kita tiru.
Sampai jumpa di artikel berikutnya
HORAS BATAK........
No comments:
Post a Comment